Ditengah Anggaran Diperdebatkan, Guru Tetap Mengabdi
Senin, 18 Agustus 2025 08:45 WIB
Pernyataan Sri Mulyani hanya semakin menegaskan betapa negara sering gagal menempatkan guru sebagai subjek utama pendidikan.
***
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang gaji guru dan dosen yang kecil, lalu mempertanyakan apakah semuanya harus ditanggung oleh negara, menimbulkan gelombang kritik. Bagaimana mungkin sebuah negara yang mengaku menjadikan pendidikan sebagai prioritas justru merelakan tenaga pendidiknya hidup dalam keterbatasan?
Dalam konteks ini, pandangan bahwa negara tidak sepenuhnya harus bertanggung jawab atas kesejahteraan guru adalah sebuah kekeliruan besar. Guru adalah pilar utama pendidikan, dan pendidikan adalah kewajiban konstitusional negara yang tidak boleh diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar atau partisipasi sukarela masyarakat.
Konstitusi Indonesia jelas menegaskan bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat 20 persen anggaran pendidikan dari APBN adalah bukti bahwa kesejahteraan tenaga pendidik harus dijamin. Maka, mempertanyakan apakah gaji guru semuanya harus ditanggung oleh negara sama saja dengan mereduksi tanggung jawab negara yang seharusnya tidak bisa ditawar. Apabila infrastruktur, subsidi energi, bahkan belanja politik bisa ditopang penuh dari APBN, mengapa kesejahteraan guru justru diperdebatkan?
Guru bukan sekadar profesi biasa. Mereka adalah penentu kualitas generasi penerus bangsa. Jika negara masih enggan memastikan gaji yang layak bagi guru dan dosen, maka dampaknya tidak hanya pada individu pendidik, tetapi juga pada masa depan anak-anak Indonesia. Bagaimana mungkin kita berharap guru mengajar dengan sepenuh hati, berinovasi, dan meningkatkan kualitas pembelajaran, sementara kebutuhan dasar mereka saja masih harus dipertanyakan? Pernyataan Sri Mulyani terkesan mengabaikan realitas bahwa banyak guru honorer yang masih berjuang dengan penghasilan jauh di bawah UMR.
Wacana untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam membiayai guru pun tidak realistis. Pendidikan yang bergantung pada kontribusi masyarakat justru akan memperlebar jurang kesenjangan. Sekolah di kota besar dengan dukungan orang tua yang mampu mungkin bisa berkembang, tetapi sekolah di pelosok dengan masyarakat kurang mampu akan semakin tertinggal. Jika negara melepaskan tanggung jawab ini, maka asas keadilan dalam pendidikan tidak akan pernah tercapai.
Selain itu, alokasi anggaran pendidikan yang sudah besar bukan berarti sudah tepat sasaran. Faktanya, dana ratusan triliun itu sebagian besar terserap untuk birokrasi, infrastruktur, dan program-program lain yang tidak langsung menyentuh kesejahteraan guru. Jadi, masalahnya bukan pada keterbatasan APBN semata, melainkan pada keberpihakan kebijakan. Jika negara sungguh-sungguh menjadikan pendidikan sebagai prioritas, maka gaji guru seharusnya ditempatkan di posisi utama, bukan malah dijadikan bahan perdebatan.
Pada akhirnya, guru dan dosen tetap mengabdi meski sering kali dikecewakan. Mereka terus hadir di kelas, mendidik dengan segala keterbatasan, sementara penghargaan yang diberikan negara masih setengah hati. Pernyataan Sri Mulyani hanya semakin menegaskan betapa negara sering gagal menempatkan guru sebagai subjek utama pendidikan. Dalam situasi ini, pandangan kontra menjadi jelas kesejahteraan guru adalah tanggung jawab penuh negara, bukan opsi yang bisa dinegosiasikan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Ditengah Anggaran Diperdebatkan, Guru Tetap Mengabdi
Senin, 18 Agustus 2025 08:45 WIB
Pendidikan dalam Konstitusi, antara Janji dan Realita?
Sabtu, 28 Desember 2024 07:27 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler